Jual beli salam, istishna dan istishna paralel
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang jual beli salam, istishna’ dan istishna’ paralel. Makalah ini penulis susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih Ekonomi dan Bisnis Islam.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai jual beli salam, istishna’ dan istishna’ paralel. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Salatiga, Oktober 2018
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Jual beli merupakan salah satu aktivitas bisnis yang sudah berlangsung cukup lama dalam masyarakat. Namun demikian, tidak ada catatan yang pasti kapan awal mulanya aktivitas bisnis secara formal. Ketentuan yang jelas ada dalam masyarakat adalah jual beli telah mengalami perkembangan dari pola tradisional sampai pada pola modern. Dahulu, masyarakat melakukan aktivitas jual beli dalam bentuk tukar menukar barang dengan barang lain. Misalnya, padi ditukar dengan jagung, atau ditukar dengan garam, bawang dan lain-lain. Di daerah-daerah suku terasing atau pedalaman, praktek akvititas bisnis seperti ini masih berlaku.
Dalam Islam, ada beberapa jenis jual beli yang dibolehkan. Di antaranya adalah jual beli salam (Bay’ as-Salam). Jual beli ini dilakukan dengan cara memesan barang lebih dahulu dengan memberikan uang muka. Pelunasannya dilakukan oleh pembeli setelah barang pesanan diterima secara penuh sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Bentuk lainnya adalah Bay’ al-Muqayyadah, (barter) yaitu jual beli dengan cara menukar satu barang dengan barang lain. Misalnya, menukar beras dengan gandum, atau menukar rotan dengan minyak tanah dan lain-lain. Jual beli yang cukup populer adalah Bay’ al-Mutlaq, yaitu jual beli barang dengan alat tukar yang telah disepakati seperti membeli tanah dengan mata uang rupiah, ringgit, dolar, yen dan lain-lain.
Ada lagi Bay’ al-Musawah, yaitu jual beli yang dilakukan dengan cara pihak penjual menyembunyikan atau tidak menjelaskan harga modalnya. Namun demikian,pihak pembeli rela dan tidak ada unsur pemaksaan di dalamnya. Jual beli dalam bentuk ini cukup berkembang pesat dewasa ini dan dibenarkan menurut ketentuan bisnis syariah. Alasannya karena terdapat unsur suka rela di antara penjual dan pembeli. Kebanyakan jual beli yang berlaku sekarang adalah jual beli dalam bentuk ini. Jenis lainnya adalah Bay’ bisamail ajil, yaitu jual beli dengan sistem cicilan atau kredit. Biasanya dalam jual beli bentuk ini ada penambahan harga dari harga kontan (cash) jika disepakati oleh pihak penjual dan pembeli. Ketentuan ini sesuai dengan pendapat mazhab Hanafi, Syafi’i, Zaid bin Ali, al-Muayyad Billah dan Jumhur Ahli Fikih dan pendapat ini dikuatkan oleh Imam Syaukani.
Ada juga aktivitas bisnis dalam bentuk bay’ Istishna’ yaitu akad jual barang pesanan di antara dua belah pihak dengan spesifikasi dan pembayaran tertentu. Barang yang dipesan belum diproduksi atau tidak tersedia di pasaran. Pembayarannya dapat secara kontan atau dengan cicilan tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Makalah ini akan membahas jual beli Salam, Istishna’ dan istishna’ paralel yang akan kami bahas secara ringkas dan terperinci.
RUMUSAN MASALAH
Agar pembahasan masalah dalam makalah ini terarah, maka kami merumuskan masalah-masalah tersebut dengan rincian sebagai berikut:
Apa itu jual beli salam?
Apa itu jual beli istishna’?
Apa itu jual beli istishna’ paralel?
Bagaimana perbedaan jual beli as-salam, istishna’ dan al-istishna’ paralel?
TUJUAN PENULISAN
Mengetahui jual beli as-salam beserta rinciannya.
Mengetahui jual beli istishna’ beserta rinciannya.
Mengetahui jual beli istishna’ paralel beserta rinciannya.
Mengetahui perbedaan jual beli as-salam, istishna’ dan al-istishna’ paralel.
BAB II
PEMBAHASAN
JUAL BELI SALAM
Pengertian Jual beli Salam
Kata as-salam disebut juga dengan as-salaf. Maknanya, adalah menjual sesuatu dengan sifat-sifat tertentu, masih dalam tanggung jawab pihak penjual tetapi pembayaran segera atau tunai. Para ulama fikih menamakannya dengan istilah al-Mahawi’ij. Artinya, adalah sesuatu yang mendesak, karena jual beli tersebut barangnya tidak ada di tempat, sementara dua belah pihak yang melakukan jual beli dalam keadaan terdesak.
Jual beli salam merupakan prinsip jual belisuatu barang tertentu antara pihak penjual dan pihak pembeli sebesar harga pokok ditambah nilai keuntungan yang disepakati dimana penyerahan barang dilakukan di kemudian hari sementara penyerahan uang dilakukan di muka (secara tunai).
Dalam jual beli salam, spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Bank Syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah untuk menghindari risiko yang merugikan Bank. Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis, spesikasi teknis, kualitas dan kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang dikirimkan salah atau cacat, maka penjual harus bertanggung jawab atas kelalaiannya.
Dasar Hukum Jual Beli Salam
Sebagai dasar hukum jual beli salam adalah :
Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 282 :
Artinya “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu “.
Hadis riwayat Bukhari dari Ibn 'Abbas,
Artinya :"Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui" (HR. Bukhari, Sahih alBukhari [Beirut: Dar al-Fikr, 1955], jilid 2, h. 36).
Ijma.
Menurut Ibnul Munzir, ulama sepakat (ijma’) atas kebolehan jual beli dengan cara salam. Di samping itu, cara tersebut juga diperlukan oleh masyarakat (Wahbah, 4/598).
Kaidah fiqh
Artinya :“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Rukun dan Syarat Jual Beli Salam
Pelaku : Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang. Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.
Cakap bertindak hukum ( baligh dan berakal sehat).
Muhtar ( tidak dibawah tekanan/paksaan).
Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
Jelas dan terukur
Disetujui kedua pihak
Diserahkan tunai/cash ketika akad berlangsung
Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan (obyek transaksi)
Dinyatakan jelas jenisnya
Jelas sifat-sifatnya
Jelas ukurannya
Jelas batas waktunya
Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas
Shigat adalah ijab dan qabul.
Harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.
Fatwa DSN-MUI tentang jual beli salam (NO: 05/DSN-MUI/IV/2000)
Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran:
Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua : Ketentuan tentang Barang:
Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
Penyerahannya dilakukan kemudian.
Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Ketiga : Ketentuan tentang Salam Paralel (ﻱﺯﺍﻮﳌﺍ ﻢﻠﺴﻟﺍ):
Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat, akad kedua terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan akad pertama.
Keempat : Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya:
Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,
menunggu sampai barang tersedia.
Kelima : Pembatalan Kontrak:
Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak.
Keenam : Perselisihan:
Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Skema Pembiayaan Jual Beli Salam
JUAL BELI ISTISHNA’
Pengertian Jual beli Istishna’
Secara etimologi Istishna’ artinya minta dibuatkan. Sedangkan menurut terminologi merupakan suatu kontrak jual beli antara penjual dan pembeli dimana pembeli memesan barang dengan kriteria yang jelas dan harganya yang dapat diserahkan secara bertahap atau dapat juga dilunasi. Pengertian bay’ Istishna’ adalah akad jual barang pesanan di antara dua belah pihak dengan spesifikasi dan pembayaran tertentu. Barang yang dipesan belum diproduksi atau tidak tersedia di pasaran. Pembayarannya dapat secara kontan atau dengan cicilan tergantung kesepakatan kedua belah pihak..
Jual beli istishna’ digunakan pada kasus produksi barang-barang khusus dengan deskripsi tertentu. Biasanya ada ketentuan pembayaranangsuran berkala atas dasar harga pembelian total, yang sering kali didasarkan pada kemajuan aktual pembuatan barangnya.
Adapun menurut Fatwa DSN MUI, dijelaskan bahwa bai’ al-Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustshni’) dan penjual (pembuat, shani’).
Dasar hukum jual beli istishna’
Al-Qur’an
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
(Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
Al-hadits
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
Rukun dan syarat jual beli istishna’
Adapun rukun-rukun istishna’ adalah sebagai berikut :
Produsen / pembuat barang (shaani’) yang menyediakan bahan bakunya
Pemesan / pembeli barang (Mustashni)
Proyek / usaha barang / jasa yang dipesan (mashnu')
Harga (saman)
Serah terima / Ijab Qabul .
Syarat-syarat jual beli istishna’ adalah sebagai berikut :
Pihak yang berakal cakap hukum dan mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli
Ridha / keralaan dua belah pihak dan tidak ingkar janji.
Apabila isi akad disyaratkan Shani' hanya bekerja saja, maka akad ini bukan lagi istishna, tetapi berubah menjadi akad ijarah
Pihak yang membuat barang menyatakan kesanggupan untuk mengadakan / membuat barang itu
Mashnu' (barang / obyek pesanan) mempunyai kriteria yang jelas seperti jenis, ukuran (tipe), mutu dan jumlahnya
Barang tersebut tidak termasuk dalam kategori yang dilarang syara' (najis, haram, samar/ tidak jelas) atau menimbulkan kemudratan.
Fatwa DSN-MUI tentang jual beli istishna’ (NO: 06/DSN-MUI/IV/2000)
Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran:
Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua : Ketentuan tentang Barang:
Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
Penyerahannya dilakukan kemudian.
Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Ketiga : Ketentuan Lain:
Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna’.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
JUAL BELI ISTISHNA’ PARALEL
Pengertian Jual Beli Itishna’ Paralel
Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor: 22/DSN-MUI/III/2002 bahwa akad jual beli Istishna’ yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) pada umumnya secara paralel (ﻱﺯﺍﻮﳌﺍ ﻉﺎﻨﺼﺘﺳﻻﺍ), yaitu sebuah bentuk akad Istishna’ antara nasabah dengan LKS, kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah, LKS memerlukan pihak lain sebagai Shani’.
Jual Beli Itishna’ Paralel Adalah akad jual beli dimana bank (penjual) memesan barang kepada pihak lain (produsen) untuk menyediakan barang sesuai dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang telah disepakati nasabah (pembeli) dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
Dasar hukum jual beli istishna’ paralel
Dasar hukum dalam Kaidah Fiqih tentang jual beli istishna’ paralel yang artinya “Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat)”.
Fatwa DSN-MUI tentang jual beli istishna’ paralel (Nomor: 22/DSN-MUI/III/2002)
Pertama Ketentuan Umum
Jika LKS melakukan transaksi Istishna’, untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah ia dapat melakukan istishna’ lagi dengan pihak lain pada obyek yang sama, dengan syarat istishna’ pertama tidak bergantung (mu’allaq) pada istishna’ kedua.
LKS selaku mustashni’ tidak diperkenankan untuk memungut MDC (margin during construction) dari nasabah (shani’) karena hal ini tidak sesuai dengan prinsip syariah.
Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad Istishna’ (Fatwa DSN nomor 06/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam Istishna’ Paralel.
Kedua : Ketentuan Lain
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Skema Pembiayaan akad Istishna’ Paralel
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, A. (2012). Bank Syariah: Teoritik, Praktik, Kritik. Yogyakarta: Teras.
L.Hayes, F. E. (2007). Hukum Keuangan Islam: Konsep, Teori, dan Praktik. Bandung: Penerbit Nusamedia.
Mujiatun, S. (2013). JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF ISLAM : SALAM DAN ISTISNA’. JURNAL RISET AKUNTANSI DAN BISNIS, 202.
http://repository.uin-suska.ac.id/7182/4/BAB%20III.pdf
http://repository.uin-suska.ac.id/8938/4/BAB%20III.pdf
https://www.syariahbukopin.co.id/id/produk-dan-jasa/pembiayaan/ib-istishna-pararel
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang jual beli salam, istishna’ dan istishna’ paralel. Makalah ini penulis susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih Ekonomi dan Bisnis Islam.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai jual beli salam, istishna’ dan istishna’ paralel. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Salatiga, Oktober 2018
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Jual beli merupakan salah satu aktivitas bisnis yang sudah berlangsung cukup lama dalam masyarakat. Namun demikian, tidak ada catatan yang pasti kapan awal mulanya aktivitas bisnis secara formal. Ketentuan yang jelas ada dalam masyarakat adalah jual beli telah mengalami perkembangan dari pola tradisional sampai pada pola modern. Dahulu, masyarakat melakukan aktivitas jual beli dalam bentuk tukar menukar barang dengan barang lain. Misalnya, padi ditukar dengan jagung, atau ditukar dengan garam, bawang dan lain-lain. Di daerah-daerah suku terasing atau pedalaman, praktek akvititas bisnis seperti ini masih berlaku.
Dalam Islam, ada beberapa jenis jual beli yang dibolehkan. Di antaranya adalah jual beli salam (Bay’ as-Salam). Jual beli ini dilakukan dengan cara memesan barang lebih dahulu dengan memberikan uang muka. Pelunasannya dilakukan oleh pembeli setelah barang pesanan diterima secara penuh sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Bentuk lainnya adalah Bay’ al-Muqayyadah, (barter) yaitu jual beli dengan cara menukar satu barang dengan barang lain. Misalnya, menukar beras dengan gandum, atau menukar rotan dengan minyak tanah dan lain-lain. Jual beli yang cukup populer adalah Bay’ al-Mutlaq, yaitu jual beli barang dengan alat tukar yang telah disepakati seperti membeli tanah dengan mata uang rupiah, ringgit, dolar, yen dan lain-lain.
Ada lagi Bay’ al-Musawah, yaitu jual beli yang dilakukan dengan cara pihak penjual menyembunyikan atau tidak menjelaskan harga modalnya. Namun demikian,pihak pembeli rela dan tidak ada unsur pemaksaan di dalamnya. Jual beli dalam bentuk ini cukup berkembang pesat dewasa ini dan dibenarkan menurut ketentuan bisnis syariah. Alasannya karena terdapat unsur suka rela di antara penjual dan pembeli. Kebanyakan jual beli yang berlaku sekarang adalah jual beli dalam bentuk ini. Jenis lainnya adalah Bay’ bisamail ajil, yaitu jual beli dengan sistem cicilan atau kredit. Biasanya dalam jual beli bentuk ini ada penambahan harga dari harga kontan (cash) jika disepakati oleh pihak penjual dan pembeli. Ketentuan ini sesuai dengan pendapat mazhab Hanafi, Syafi’i, Zaid bin Ali, al-Muayyad Billah dan Jumhur Ahli Fikih dan pendapat ini dikuatkan oleh Imam Syaukani.
Ada juga aktivitas bisnis dalam bentuk bay’ Istishna’ yaitu akad jual barang pesanan di antara dua belah pihak dengan spesifikasi dan pembayaran tertentu. Barang yang dipesan belum diproduksi atau tidak tersedia di pasaran. Pembayarannya dapat secara kontan atau dengan cicilan tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Makalah ini akan membahas jual beli Salam, Istishna’ dan istishna’ paralel yang akan kami bahas secara ringkas dan terperinci.
RUMUSAN MASALAH
Agar pembahasan masalah dalam makalah ini terarah, maka kami merumuskan masalah-masalah tersebut dengan rincian sebagai berikut:
Apa itu jual beli salam?
Apa itu jual beli istishna’?
Apa itu jual beli istishna’ paralel?
Bagaimana perbedaan jual beli as-salam, istishna’ dan al-istishna’ paralel?
TUJUAN PENULISAN
Mengetahui jual beli as-salam beserta rinciannya.
Mengetahui jual beli istishna’ beserta rinciannya.
Mengetahui jual beli istishna’ paralel beserta rinciannya.
Mengetahui perbedaan jual beli as-salam, istishna’ dan al-istishna’ paralel.
BAB II
PEMBAHASAN
JUAL BELI SALAM
Pengertian Jual beli Salam
Kata as-salam disebut juga dengan as-salaf. Maknanya, adalah menjual sesuatu dengan sifat-sifat tertentu, masih dalam tanggung jawab pihak penjual tetapi pembayaran segera atau tunai. Para ulama fikih menamakannya dengan istilah al-Mahawi’ij. Artinya, adalah sesuatu yang mendesak, karena jual beli tersebut barangnya tidak ada di tempat, sementara dua belah pihak yang melakukan jual beli dalam keadaan terdesak.
Jual beli salam merupakan prinsip jual belisuatu barang tertentu antara pihak penjual dan pihak pembeli sebesar harga pokok ditambah nilai keuntungan yang disepakati dimana penyerahan barang dilakukan di kemudian hari sementara penyerahan uang dilakukan di muka (secara tunai).
Dalam jual beli salam, spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Bank Syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah untuk menghindari risiko yang merugikan Bank. Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis, spesikasi teknis, kualitas dan kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang dikirimkan salah atau cacat, maka penjual harus bertanggung jawab atas kelalaiannya.
Dasar Hukum Jual Beli Salam
Sebagai dasar hukum jual beli salam adalah :
Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 282 :
Artinya “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu “.
Hadis riwayat Bukhari dari Ibn 'Abbas,
Artinya :"Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui" (HR. Bukhari, Sahih alBukhari [Beirut: Dar al-Fikr, 1955], jilid 2, h. 36).
Ijma.
Menurut Ibnul Munzir, ulama sepakat (ijma’) atas kebolehan jual beli dengan cara salam. Di samping itu, cara tersebut juga diperlukan oleh masyarakat (Wahbah, 4/598).
Kaidah fiqh
Artinya :“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Rukun dan Syarat Jual Beli Salam
Pelaku : Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang. Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.
Cakap bertindak hukum ( baligh dan berakal sehat).
Muhtar ( tidak dibawah tekanan/paksaan).
Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
Jelas dan terukur
Disetujui kedua pihak
Diserahkan tunai/cash ketika akad berlangsung
Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan (obyek transaksi)
Dinyatakan jelas jenisnya
Jelas sifat-sifatnya
Jelas ukurannya
Jelas batas waktunya
Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas
Shigat adalah ijab dan qabul.
Harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.
Fatwa DSN-MUI tentang jual beli salam (NO: 05/DSN-MUI/IV/2000)
Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran:
Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua : Ketentuan tentang Barang:
Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
Penyerahannya dilakukan kemudian.
Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Ketiga : Ketentuan tentang Salam Paralel (ﻱﺯﺍﻮﳌﺍ ﻢﻠﺴﻟﺍ):
Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat, akad kedua terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan akad pertama.
Keempat : Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya:
Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,
menunggu sampai barang tersedia.
Kelima : Pembatalan Kontrak:
Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak.
Keenam : Perselisihan:
Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Skema Pembiayaan Jual Beli Salam
JUAL BELI ISTISHNA’
Pengertian Jual beli Istishna’
Secara etimologi Istishna’ artinya minta dibuatkan. Sedangkan menurut terminologi merupakan suatu kontrak jual beli antara penjual dan pembeli dimana pembeli memesan barang dengan kriteria yang jelas dan harganya yang dapat diserahkan secara bertahap atau dapat juga dilunasi. Pengertian bay’ Istishna’ adalah akad jual barang pesanan di antara dua belah pihak dengan spesifikasi dan pembayaran tertentu. Barang yang dipesan belum diproduksi atau tidak tersedia di pasaran. Pembayarannya dapat secara kontan atau dengan cicilan tergantung kesepakatan kedua belah pihak..
Jual beli istishna’ digunakan pada kasus produksi barang-barang khusus dengan deskripsi tertentu. Biasanya ada ketentuan pembayaranangsuran berkala atas dasar harga pembelian total, yang sering kali didasarkan pada kemajuan aktual pembuatan barangnya.
Adapun menurut Fatwa DSN MUI, dijelaskan bahwa bai’ al-Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustshni’) dan penjual (pembuat, shani’).
Dasar hukum jual beli istishna’
Al-Qur’an
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
(Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
Al-hadits
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
Rukun dan syarat jual beli istishna’
Adapun rukun-rukun istishna’ adalah sebagai berikut :
Produsen / pembuat barang (shaani’) yang menyediakan bahan bakunya
Pemesan / pembeli barang (Mustashni)
Proyek / usaha barang / jasa yang dipesan (mashnu')
Harga (saman)
Serah terima / Ijab Qabul .
Syarat-syarat jual beli istishna’ adalah sebagai berikut :
Pihak yang berakal cakap hukum dan mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli
Ridha / keralaan dua belah pihak dan tidak ingkar janji.
Apabila isi akad disyaratkan Shani' hanya bekerja saja, maka akad ini bukan lagi istishna, tetapi berubah menjadi akad ijarah
Pihak yang membuat barang menyatakan kesanggupan untuk mengadakan / membuat barang itu
Mashnu' (barang / obyek pesanan) mempunyai kriteria yang jelas seperti jenis, ukuran (tipe), mutu dan jumlahnya
Barang tersebut tidak termasuk dalam kategori yang dilarang syara' (najis, haram, samar/ tidak jelas) atau menimbulkan kemudratan.
Fatwa DSN-MUI tentang jual beli istishna’ (NO: 06/DSN-MUI/IV/2000)
Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran:
Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua : Ketentuan tentang Barang:
Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
Penyerahannya dilakukan kemudian.
Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Ketiga : Ketentuan Lain:
Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna’.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
JUAL BELI ISTISHNA’ PARALEL
Pengertian Jual Beli Itishna’ Paralel
Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor: 22/DSN-MUI/III/2002 bahwa akad jual beli Istishna’ yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) pada umumnya secara paralel (ﻱﺯﺍﻮﳌﺍ ﻉﺎﻨﺼﺘﺳﻻﺍ), yaitu sebuah bentuk akad Istishna’ antara nasabah dengan LKS, kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah, LKS memerlukan pihak lain sebagai Shani’.
Jual Beli Itishna’ Paralel Adalah akad jual beli dimana bank (penjual) memesan barang kepada pihak lain (produsen) untuk menyediakan barang sesuai dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang telah disepakati nasabah (pembeli) dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
Dasar hukum jual beli istishna’ paralel
Dasar hukum dalam Kaidah Fiqih tentang jual beli istishna’ paralel yang artinya “Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat)”.
Fatwa DSN-MUI tentang jual beli istishna’ paralel (Nomor: 22/DSN-MUI/III/2002)
Pertama Ketentuan Umum
Jika LKS melakukan transaksi Istishna’, untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah ia dapat melakukan istishna’ lagi dengan pihak lain pada obyek yang sama, dengan syarat istishna’ pertama tidak bergantung (mu’allaq) pada istishna’ kedua.
LKS selaku mustashni’ tidak diperkenankan untuk memungut MDC (margin during construction) dari nasabah (shani’) karena hal ini tidak sesuai dengan prinsip syariah.
Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad Istishna’ (Fatwa DSN nomor 06/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam Istishna’ Paralel.
Kedua : Ketentuan Lain
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Skema Pembiayaan akad Istishna’ Paralel
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, A. (2012). Bank Syariah: Teoritik, Praktik, Kritik. Yogyakarta: Teras.
L.Hayes, F. E. (2007). Hukum Keuangan Islam: Konsep, Teori, dan Praktik. Bandung: Penerbit Nusamedia.
Mujiatun, S. (2013). JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF ISLAM : SALAM DAN ISTISNA’. JURNAL RISET AKUNTANSI DAN BISNIS, 202.
http://repository.uin-suska.ac.id/7182/4/BAB%20III.pdf
http://repository.uin-suska.ac.id/8938/4/BAB%20III.pdf
https://www.syariahbukopin.co.id/id/produk-dan-jasa/pembiayaan/ib-istishna-pararel
Komentar
Posting Komentar