Jual beli salam, istishna dan istishna paralel

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang jual beli salam, istishna’ dan istishna’ paralel. Makalah ini penulis susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih Ekonomi dan Bisnis Islam.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai jual beli salam, istishna’ dan istishna’ paralel. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.



Salatiga, Oktober 2018

Penulis

DAFTAR ISI




























BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Jual beli merupakan salah satu aktivitas bisnis yang sudah berlangsung cukup  lama dalam masyarakat. Namun demikian, tidak ada catatan  yang pasti kapan awal  mulanya aktivitas bisnis secara formal. Ketentuan yang jelas ada dalam masyarakat adalah  jual  beli  telah  mengalami  perkembangan  dari  pola  tradisional  sampai  pada pola modern. Dahulu, masyarakat melakukan aktivitas jual beli dalam bentuk tukar menukar  barang  dengan  barang  lain.  Misalnya,  padi  ditukar  dengan  jagung,  atau ditukar  dengan  garam,  bawang  dan  lain-lain.  Di  daerah-daerah  suku  terasing  atau pedalaman, praktek akvititas bisnis seperti ini masih berlaku.
Dalam  Islam,  ada  beberapa  jenis  jual  beli  yang  dibolehkan.  Di  antaranya adalah jual beli salam (Bay’ as-Salam).  Jual beli ini dilakukan dengan cara memesan barang  lebih  dahulu dengan  memberikan  uang  muka.  Pelunasannya  dilakukan  oleh pembeli setelah barang pesanan diterima secara penuh sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.  Bentuk lainnya adalah Bay’ al-Muqayyadah,  (barter) yaitu jual beli dengan  cara  menukar  satu  barang  dengan  barang  lain.  Misalnya,  menukar  beras dengan  gandum,  atau  menukar  rotan  dengan  minyak  tanah  dan  lain-lain.  Jual  beli yang cukup populer adalah  Bay’ al-Mutlaq,  yaitu jual beli barang dengan alat tukar yang telah disepakati seperti membeli tanah dengan mata uang rupiah, ringgit, dolar, yen dan lain-lain.
Ada lagi Bay’ al-Musawah,  yaitu jual beli yang dilakukan dengan cara pihak penjual  menyembunyikan  atau  tidak  menjelaskan  harga  modalnya.  Namun demikian,pihak pembeli rela dan tidak ada unsur pemaksaan di dalamnya. Jual beli dalam  bentuk  ini  cukup  berkembang  pesat  dewasa  ini  dan  dibenarkan  menurut ketentuan bisnis syariah. Alasannya karena  terdapat unsur suka rela di antara penjual dan  pembeli.  Kebanyakan  jual  beli  yang  berlaku  sekarang  adalah  jual  beli  dalam bentuk  ini.  Jenis  lainnya  adalah  Bay’  bisamail  ajil,  yaitu  jual  beli  dengan  sistem cicilan atau kredit. Biasanya dalam jual beli bentuk ini ada penambahan harga dari harga  kontan  (cash)  jika  disepakati  oleh  pihak  penjual  dan  pembeli.  Ketentuan  ini sesuai dengan pendapat mazhab Hanafi, Syafi’i, Zaid bin Ali, al-Muayyad Billah dan Jumhur Ahli Fikih dan pendapat ini dikuatkan oleh Imam Syaukani.
Ada juga aktivitas bisnis dalam bentuk    bay’ Istishna’  yaitu akad  jual  barang  pesanan  di  antara  dua  belah  pihak  dengan  spesifikasi  dan pembayaran  tertentu.  Barang  yang  dipesan  belum  diproduksi  atau  tidak  tersedia di pasaran.  Pembayarannya  dapat  secara  kontan  atau  dengan  cicilan  tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Makalah  ini  akan  membahas  jual  beli  Salam, Istishna’ dan istishna’ paralel  yang  akan kami bahas secara ringkas dan terperinci.
RUMUSAN MASALAH
Agar pembahasan masalah dalam makalah ini terarah, maka kami merumuskan masalah-masalah tersebut dengan rincian sebagai berikut:
Apa itu jual beli salam?
Apa itu jual beli istishna’?
Apa itu jual beli istishna’ paralel?
Bagaimana perbedaan jual beli as-salam, istishna’  dan al-istishna’ paralel?

TUJUAN PENULISAN
Mengetahui jual beli as-salam beserta rinciannya.
Mengetahui jual beli istishna’ beserta rinciannya.
Mengetahui jual beli istishna’ paralel beserta rinciannya.
Mengetahui perbedaan jual beli as-salam, istishna’  dan al-istishna’ paralel.

BAB II
PEMBAHASAN

JUAL BELI SALAM
Pengertian Jual beli Salam
Kata  as-salam  disebut  juga  dengan  as-salaf.  Maknanya,  adalah  menjual  sesuatu dengan sifat-sifat tertentu, masih dalam tanggung jawab pihak penjual tetapi pembayaran  segera  atau  tunai.  Para  ulama  fikih  menamakannya  dengan  istilah  al-Mahawi’ij.  Artinya,  adalah  sesuatu  yang  mendesak,   karena  jual  beli  tersebut barangnya tidak ada di tempat, sementara dua belah pihak yang melakukan jual beli dalam  keadaan  terdesak.
Jual beli salam merupakan prinsip jual belisuatu barang tertentu antara pihak penjual dan pihak pembeli sebesar harga pokok ditambah nilai keuntungan yang disepakati dimana penyerahan barang dilakukan di kemudian hari sementara penyerahan uang dilakukan di muka (secara tunai).
Dalam jual beli salam, spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli  dan  penjual  di  awal  akad.  Ketentuan  harga  barang  pesanan  tidak  dapat berubah  selama  jangka  waktu  akad.  Bank Syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah untuk menghindari risiko yang merugikan  Bank.  Barang  pesanan  harus  diketahui  karakteristiknya  secara  umum yang  meliputi:  jenis,  spesikasi  teknis,  kualitas  dan  kuantitasnya.  Barang  pesanan harus sesuai dengan karakteristik  yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika  barang  pesanan  yang  dikirimkan  salah  atau  cacat,  maka  penjual  harus bertanggung jawab atas kelalaiannya.




Dasar Hukum Jual Beli Salam
Sebagai dasar hukum jual beli salam adalah :
Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 282 :
Artinya  “  Hai  orang-orang  yang  beriman,  apabila  kamu  bermu`amalah  tidak  secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan  hendaklah  seorang  penulis  di  antara  kamu  menuliskannya  dengan  benar. Dan  janganlah  penulis  enggan  menuliskannya  sebagaimana  Allah  telah  mengajarkannya,  maka  hendaklah  ia  menulis,  dan  hendaklah  orang  yang berhutang  itu  mengimlakkan  (apa  yang  akan  ditulis  itu),  dan  hendaklah  ia bertakwa  kepada  Allah  Tuhannya,  dan  janganlah  ia  mengurangi  sedikitpun daripada  hutangnya.  Jika  yang  berhutang  itu  orang  yang  lemah  akalnya  atau lemah  (keadaannya)  atau  dia  sendiri  tidak  mampu  mengimlakkan,  maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang  saksi  dari  orang-orang  lelaki  diantaramu).  Jika  tak  ada  dua  orang  lelaki, maka  (boleh)  seorang  lelaki  dan  dua  orang  perempuan  dari  saksi-saksi  yang kamu  ridhai,  supaya  jika  seorang  lupa  maka  seorang  lagi  mengingatkannya. Janganlah  saksi-saksi  itu  enggan  (memberi  keterangan)  apabila  mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu,  (Tulislah  mu`amalahmu  itu),  kecuali  jika  mu`amalah  itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu,  (jika)  kamu  tidak  menulisnya.  Dan  persaksikanlah  apabila  kamu  berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu “.



Hadis riwayat Bukhari dari Ibn 'Abbas,
Artinya :"Barang  siapa  melakukan  salaf (salam),  hendaknya  ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk  jangka  waktu  yang  diketahui" (HR.  Bukhari,  Sahih  alBukhari [Beirut: Dar al-Fikr, 1955], jilid 2, h. 36).
Ijma.
Menurut  Ibnul  Munzir,  ulama  sepakat  (ijma’)  atas kebolehan  jual  beli  dengan  cara  salam.  Di  samping  itu,  cara tersebut juga diperlukan oleh masyarakat (Wahbah, 4/598).
 Kaidah fiqh
Artinya :“Pada  dasarnya,  semua  bentuk  muamalah  boleh  dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Rukun dan Syarat Jual Beli Salam
Pelaku : Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang. Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.
Cakap bertindak hukum ( baligh dan berakal sehat).
Muhtar ( tidak dibawah tekanan/paksaan).
Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
Jelas dan terukur
Disetujui kedua pihak
Diserahkan tunai/cash ketika akad berlangsung
Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan (obyek transaksi)
Dinyatakan jelas jenisnya
Jelas sifat-sifatnya
Jelas ukurannya
Jelas batas waktunya
Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas


Shigat adalah ijab dan qabul.
Harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.

Fatwa DSN-MUI tentang jual beli salam (NO: 05/DSN-MUI/IV/2000)
Pertama :  Ketentuan tentang Pembayaran:
Alat  bayar  harus  diketahui  jumlah  dan  bentuknya,  baik  berupa uang, barang, atau manfaat.
Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua :  Ketentuan tentang Barang:
Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
Penyerahannya dilakukan kemudian.
Waktu  dan  tempat  penyerahan  barang  harus  ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
Tidak  boleh  menukar  barang,  kecuali  dengan  barang  sejenis sesuai kesepakatan.
Ketiga :  Ketentuan tentang Salam Paralel (ﻱﺯﺍﻮﳌﺍ ﻢﻠﺴﻟﺍ):
Dibolehkan   melakukan  salam  paralel dengan  syarat,  akad  kedua terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan akad pertama.
Keempat :  Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya:
Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
Jika  penjual  menyerahkan  barang  dengan  kualitas  yang  lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
Jika  penjual  menyerahkan  barang  dengan  kualitas  yang  lebih rendah,  dan  pembeli  rela  menerimanya,  maka  ia  tidak  boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat  kualitas  dan  jumlah  barang  sesuai dengan  kesepakatan,  dan  ia  tidak  boleh  menuntut  tambahan harga.
Jika  semua  atau  sebagian  barang  tidak  tersedia  pada  waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,
menunggu sampai barang tersedia.
Kelima :  Pembatalan Kontrak:
Pada  dasarnya  pembatalan  salam boleh  dilakukan,  selama  tidak merugikan kedua belah pihak.
Keenam :  Perselisihan:
Jika  terjadi  perselisihan  di  antara  kedua  belah  pihak,  maka persoalannya  diselesaikan  melalui  Badan  Arbitrasi  Syari’ah  setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Skema Pembiayaan Jual Beli Salam

JUAL BELI ISTISHNA’
Pengertian Jual beli Istishna’
Secara etimologi Istishna’ artinya  minta  dibuatkan.  Sedangkan  menurut  terminologi merupakan  suatu  kontrak  jual  beli  antara  penjual  dan  pembeli  dimana  pembeli memesan barang dengan kriteria yang jelas dan harganya yang dapat diserahkan secara  bertahap  atau  dapat  juga  dilunasi. Pengertian  bay’ Istishna’  adalah  akad  jual  barang  pesanan  di antara  dua  belah  pihak  dengan  spesifikasi  dan  pembayaran  tertentu.  Barang  yang dipesan belum diproduksi atau tidak tersedia di pasaran. Pembayarannya dapat secara kontan atau dengan cicilan tergantung kesepakatan  kedua belah pihak..
Jual beli istishna’ digunakan pada kasus produksi barang-barang khusus dengan deskripsi tertentu. Biasanya ada ketentuan pembayaranangsuran berkala atas dasar harga pembelian total, yang sering kali didasarkan pada kemajuan aktual pembuatan barangnya.
Adapun menurut Fatwa DSN MUI, dijelaskan bahwa bai’ al-Istishna’ adalah  akad  jual  beli  dalam  bentuk  pemesanan  pembuatan  barang  tertentu dengan  kriteria  dan  persyaratan  tertentu  yang  disepakati  antara  pemesan (pembeli, mustshni’) dan penjual (pembuat, shani’).
Dasar hukum jual beli istishna’
Al-Qur’an
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا   
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
(Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
 Al-hadits
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
Rukun dan syarat jual beli istishna’
Adapun rukun-rukun istishna’ adalah sebagai berikut :
Produsen / pembuat barang (shaani’) yang menyediakan bahan bakunya
Pemesan / pembeli barang (Mustashni)
Proyek / usaha barang / jasa yang dipesan (mashnu')
Harga (saman)
Serah terima / Ijab Qabul .
Syarat-syarat jual beli istishna’ adalah sebagai berikut :
Pihak  yang  berakal  cakap  hukum  dan  mempunyai  kekuasaan  untuk melakukan jual beli
Ridha / keralaan dua belah pihak dan tidak ingkar janji.
Apabila isi akad disyaratkan Shani'  hanya bekerja saja, maka akad ini bukan lagi   istishna, tetapi berubah menjadi akad ijarah
Pihak  yang  membuat  barang  menyatakan  kesanggupan  untuk  mengadakan  / membuat barang itu
Mashnu'  (barang  /  obyek  pesanan)  mempunyai  kriteria  yang  jelas  seperti jenis, ukuran (tipe), mutu dan jumlahnya
Barang  tersebut  tidak  termasuk  dalam  kategori  yang  dilarang  syara'  (najis, haram, samar/ tidak jelas) atau menimbulkan kemudratan.





Fatwa DSN-MUI tentang jual beli istishna’ (NO: 06/DSN-MUI/IV/2000)
Pertama :  Ketentuan tentang Pembayaran:
Alat  bayar  harus  diketahui  jumlah  dan  bentuknya,  baik  berupa uang, barang, atau manfaat.
Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua :  Ketentuan tentang Barang:
Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
Penyerahannya dilakukan kemudian.
Waktu  dan  tempat  penyerahan  barang  harus  ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
Pembeli  (mustashni’)  tidak  boleh  menjual  barang  sebelum menerimanya.
Tidak  boleh  menukar  barang,  kecuali  dengan  barang  sejenis sesuai kesepakatan.
Dalam  hal  terdapat  cacat  atau  barang  tidak  sesuai  dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak  khiyar  (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Ketiga :  Ketentuan Lain:
Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna’.
Jika  salah satu pihak  tidak menunaikan  kewajibannya  atau jika terjadi  perselisihan  di  antara  kedua  belah  pihak,  maka penyelesaiannya  dilakukan  melalui  Badan  Arbitrasi  Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.


JUAL BELI ISTISHNA’ PARALEL
Pengertian Jual Beli Itishna’ Paralel
Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor: 22/DSN-MUI/III/2002 bahwa  akad  jual  beli  Istishna’ yang  dilakukan  oleh Lembaga  Keuangan  Syari’ah  (LKS)  pada  umumnya secara  paralel  (ﻱﺯﺍﻮﳌﺍ  ﻉﺎﻨﺼﺘﺳﻻﺍ),  yaitu  sebuah  bentuk  akad Istishna’  antara  nasabah  dengan  LKS,  kemudian  untuk memenuhi  kewajibannya  kepada  nasabah,  LKS memerlukan pihak lain sebagai Shani’.
Jual Beli Itishna’ Paralel Adalah akad jual beli dimana bank (penjual) memesan barang kepada pihak lain (produsen) untuk menyediakan barang sesuai dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang telah disepakati nasabah (pembeli) dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
Dasar hukum jual beli istishna’ paralel
Dasar hukum dalam Kaidah Fiqih tentang jual beli istishna’ paralel yang artinya “Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan  sesuatu  yang  berlaku  berdasarkan  syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat)”.
Fatwa DSN-MUI tentang  jual beli istishna’ paralel (Nomor: 22/DSN-MUI/III/2002)
Pertama   Ketentuan Umum
Jika LKS melakukan transaksi Istishna’, untuk memenuhi kewajibannya  kepada  nasabah  ia  dapat  melakukan istishna’  lagi  dengan  pihak  lain  pada  obyek  yang  sama, dengan  syarat  istishna’  pertama  tidak  bergantung (mu’allaq) pada istishna’ kedua.
LKS  selaku  mustashni’  tidak  diperkenankan  untuk memungut  MDC  (margin  during  construction)  dari nasabah  (shani’)  karena  hal  ini  tidak  sesuai  dengan prinsip syariah.
Semua  rukun  dan  syarat  yang  berlaku  dalam  akad Istishna’  (Fatwa  DSN  nomor  06/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam Istishna’ Paralel.
Kedua :   Ketentuan Lain
Jika  salah  satu  pihak  tidak  menunaikan  kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah  setelah  tidak  tercapai  kesepakatan  melalui musyawarah.
Fatwa  ini  berlaku  sejak  tanggal  ditetapkan  dengan ketentuan  jika  di  kemudian  hari  ternyata  terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Skema Pembiayaan akad Istishna’ Paralel



DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, A. (2012). Bank Syariah: Teoritik, Praktik, Kritik. Yogyakarta: Teras.
L.Hayes, F. E. (2007). Hukum Keuangan Islam: Konsep, Teori, dan Praktik. Bandung: Penerbit Nusamedia.
Mujiatun, S. (2013). JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF ISLAM : SALAM DAN ISTISNA’. JURNAL RISET AKUNTANSI DAN BISNIS, 202.
http://repository.uin-suska.ac.id/7182/4/BAB%20III.pdf
http://repository.uin-suska.ac.id/8938/4/BAB%20III.pdf
https://www.syariahbukopin.co.id/id/produk-dan-jasa/pembiayaan/ib-istishna-pararel

Komentar

Postingan Populer